Sumsel Menuai Bencana Ekologis, Lawan Keserakahan, Tegakkan Keadilan Ekologis di Hari Bumi 2025

Peringatan Hari Bumi 2025 di Palembang oleh aktivis lingkungan dan mahasiswa

kabarterkinionline.com

Sumatera Selatan [Sumsel] menuai bencana Ekologis, lawan keserakahan, tegakkan keadilan Ekologis di Hari Bumi 2025.

Aktivis lingkungan dan aktivis mahasiswa, Selasa (22/5) bersama-sama memperingati Hari Bumi 2025. Puluhan aktivis melakukan aksi long march dengan menyusuri Jalan Merdeka dan melewati kantor Wali Kota Palembang sampai ke Kambang Iwak Park.

Mereka berasal dari beberapa LSM, di antaranya dari Walhi Sumsel, Rotan, Masopala Unsri, Himpala Dharmapala Chakti, Solidaritas Perempuan Palembang, Women Crisis Center Palembang (WCC), Himasylva UMP, BEM FE Unsri, BEM Fisip Unsri, Benah Palembang, Green Heroes Sriwijaya, Suara Mentari, dan Rumah Relawan Peduli.

“Pada peringatan hari bumi 2025 kami menyuarakan perlawanan atas darurat ekologis yang semakin nyata dengan kegiatan selain pawai longmarch bola bumi, pasar gratis, pembagian bibit pohon dan pickup sampah”, kata Febrian Putra Sopah, Kadiv Kampanye Walhi Sumsel.

Menurut Yuliusman Direktur Eksekutif Daerah Walhi Sumsel, aksi Hari Bumi 2025 menandai akumulasi dari bencana ekologis yang bukan lagi sekadar peristiwa alam, melainkan hasil langsung dari kebijakan yang timpang dan perampasan ruang hidup oleh korporasi tambang, sawit, dan hutan tanaman industri.

“Kami menyatakan, Hari Bumi bukanlah seremoni tahunan. Bagi rakyat Sumsel, ini adalah momentum konsolidasi melawan ketimpangan struktural yang merampas tanah, air, udara, dan masa depan. Jika lahan terus dikapling untuk tambang dan sawit, jika rawa dan hutan terus dimusnahkan, maka banjir, kebakaran, dan penderitaan rakyat Sumatera Selatan akan menjadi keniscayaan. Sudah saatnya berpihak pada bumi dan rakyat, bukan pada modal dan kehancuran”, ujar Yuliusman.

Yulius juga menyampaikan, sepanjang tahun 2024, Sumatera Selatan menghadapi 154 kejadian banjir di 14 kabupaten/kota yang berdampak pada lebih dari 365 ribu jiwa, dengan 91 ribu rumah terendam dan kerusakan infrastruktur publik.

Sementara itu pada musim kemarau menurut Yulius, ada 11.786 titik api mencuat, sebagian besar di lahan gambut yang telah rusak akibat pengeringan oleh perusahaan. “Di sisi lain, pencemaran air, udara, dan tanah merata di berbagai wilayah, mengancam sumber kehidupan rakyat dari hulu ke hilir. Namun semua ini hanyalah gejala dari krisis struktural yang lebih dalam: ketimpangan penguasaan lahan di Sumatera Selatan”, katanya.

Walhi Sumsel juga mencatat, dari total 8,3 juta hektar daratan di Sumsel, sebanyak 3,3 juta hektar dikuasai oleh korporasi tambang batubara, perkebunan kelapa sawit, dan HTI. Penguasaan ini berlangsung melalui izin-izin skala besar, namun mengabaikan hak dan keselamatan rakyat.

Ketimpangan ini menurut catatan Walhi, menghilangkan hutan, kawasan resapan, rawa-rawa, dan tanah pertanian rakyat—semuanya digantikan dengan pertambangan terbuka, monokultur sawit, dan tanaman industri. Ketika air tak lagi terserap tanah, ketika sungai mengalirkan limbah tambang, dan ketika udara penuh debu batubara, maka yang terjadi adalah banjir, kebakaran, pencemaran, dan kehilangan sumber penghidupan.

Dalam pernyatannya, para peserta aksi menyatakan, rakyat kehilangan ruang hidup, sementara korporasi memperoleh legitimasi untuk memperluas eksploitasi. Revisi tata ruang ini tidak hanya cacat secara ekologis, tetapi juga cacat secara keadilan. Negara tampak lebih sibuk melayani modal daripada melindungi rakyat dari bencana yang diciptakannya sendiri.

“Dampak dari ketimpangan ruang ini dirasakan oleh semua dari warga kota Palembang yang setiap tahun kebanjiran karena Ruang Terbuka Hijau atau RTH dan rawa diganti beton dan perumahan elit. Di desa di Sumsel ini sumurnya tercemar limbah dan hutannya dilenyapkan. Sungai tercemar, sawah rusak, udara penuh asap dan debu. Di tengah situasi ini, warga justru dikriminalisasi ketika membela ruang hidupnya, sementara korporasi bebas beroperasi dengan impunitas”, kata Yuliusman Direktur Eksekutif Daerah Walhi.

Dalam pernyataan tertulis peringatan Hari Bumi 2025, para aktivis peserta aksi long march i Bumi 2025 mendesak: Pertama, hentikan ekspansi industri ekstraktif di Sumatera Selatan, khususnya tambang batubara, perkebunan kelapa sawit, dan hutan tanaman industri (HTI).

Kedua, cabut izin-izin perusahaan yang terbukti merusak lingkungan dan mencemari ruang hidup rakyat. Ketiga, laksanakan pemulihan ekologis dan sosial secara menyeluruh di wilayah terdampak krisis ekologis, dengan memastikan keterlibatan masyarakat. Keempat, hentikan kriminalisasi warga yang membela ruang hidup dan hentikan impunitas terhadap korporasi perusak lingkungan.

Kelima, wujudkan reforma agraria, hentikan monopoli ruang oleh korporasi, dan kembalikan akses rakyat atas tanah, air, dan udara yang bersih. Keenam, mendesak kepala daerah di Sumatera Selatan untuk menjadikan keadilan ekologis dan krisis iklim, serta memastikan keadilan gender dalam setiap kebijakan yang diambil terkait dengan pembangunan dan pengelolaan sumber daya alam.

 

banner 336x280

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *