kabarterkinionline.com
Antrian lama, sudah ruwet dari awal pendaftaran, pasien BPJS Kesehatan seperti dianaktirikan. Berbagai keluhan masyarakat masih saja menyeruak kepermukaan terkait layanan BPJS Kesehatan di sejumlah Rumah Sakit. Akibatnya, pihak BPJS selalu jadi sorotan dan tumpahan kekesalan masyarakat terutama keluarga pasien yang butuh pelayanan cepat.
Kinerja layanan terhadap pasien peserta BPJS Kesehatan yang berobat ke fasilitas kesehatan terus menjadi sorotan di mana-mana. Karena banyak persoalan yang dirasakan dan perlu pembenahan. Termasuk di Sumatera Selatan (Sumsel).
Keluhan diungkap Nr (30), warga Ogan Ilir. Dia datang ke Palembang, dirujuk ke salah satu rumah sakit. “Harus pagi-pagi betul, kalau tidak kehabisan nomor antrean. Harus pulang dan datang lagi besok,” katanya,
Pernah sesekali dia sampai menangis di rumah sakit lantaran merasa susah untuk mendapatkan obat. Mengingat, dirinya saat ini ketergantungan obat perihal penyakitnya yang bisa kambuh sewaktu-waktu jika tidak mengonsumsi obat yang sudah diresepkan dokter.
“Apakah karena pasien BPJS, sehingga menjadi sangat susah untuk berobat? Padahal kepesertaan BPJS kami juga bayar setiap bulan, bukan BPJS yang dibayarkan gratis oleh pemerintah,” katanya sembari merasa kalau pasien BPJS Kesehatan seperti dianaktirikan.
Keluhan lain diungkap Edi, warga Kayuagung. Dia mengatakan, istrinya sebagai peserta BPJS Kesehatan membutuhkan obat insulin hingga tujuh macam. “Pernah waktu itu harus bayar dulu satu macam obat Rp120 ribu, nanti di-reimburse. Kan kita sudah bayar tiap bulan. Saya pernah tanya juga, kalau mau beli obatnya ternyata ada, tapi kalau gratis obatnya kosong,” cerita Edi.
Dia sempat komplain melalui layanan mobile JKN dan setelah itu dia tidak lagi harus membayar saat membeli obat insulin di apotek. “Maksudnya kenapa harus komplain dulu baru bisa padahal kan bayar iuran tiap bulannya,” imbuh Edi.
Seorang pasien rehab medik mengeluhkan antrean yang lama untuk bisa dapat layanan fisioterapi. “Memang pasiennya banyak, pakai BPJS semua. Tapi kan kalau sudah tahu kondisinya begitu, harusnya pegawainya ditambah. Ini bisa menunggu sampai 4 jam,” kata Tn, peserta BPJS Kesehatan.
Lamanya menunggu tidak sebanding dengan waktu fisioterapi yang diberikan kepada pasien. “Cuma 30 menit, kadang tidak sampai,” cetusnya. Seperti Mei lalu, seharusnya dia kontrol pada 13 Mei. Tapi karena cuti bersama sehingga diganti 15 Mei. “Daftar di mobile JKN untuk kontrol ke rumah sakit, tulisannya kuota penuh terus,” kata Nr.
Pengalaman kurang menyenangkan berobat dengan menggunakan kartu BPJS Kesehatan dialami Romadon, saat datang ke rumah sakit di Ogan Ilir. “Rata-rata keluhan pasien sama, berobat dengan kartu BPJS sudah pasti antriannya lama. Kalau rawat inap, sembuh tidak sembuh, 3 hari pulang,” ujarnya.
Wanto, warga Pangkalan Balai punya cerita lain. Dia pernah ikut mengantarkan sanak keluarganya berobat ke rumah sakit dengan keluhan sakit perut. “Bukannya dapat perawatan, malah ditolak dan disuruh pulang tanpa diberikan obat,” katanya.
Siti, warga Palembang, mengaku pernah dirawat inap di salah satu rumah sakit di kota pempek. Dia mengeluhkan harus keluar uang lagi untuk bisa dapat kamar rawat inap. Sebab, bagian administrasi rumah sakit itu mengatakan kalau kamar sesuai kelas kepesertaannya penuh. Begitu juga kamar untuk kelas di bawah dan di atasnya.
“Yang ada kosong katanya kamar VIP, tapi kita tanggung 75 persen tarifnya, BPJS hanya tanggung 25 persen saja. Kalau tidak mau, maka bisa pulang dulu sembari menunggu kabar ada kamar kosong. Padahal, yang menyuruh saya dirawat adalah dokter rumah sakit itu,” beber Siti. Karena sakitnya tak lagi bisa di rumah, Siti mau tidak mau akhirnya naik kelas ke VIP.
“Itu sudah jadi modus-modus untuk bisa mendapat uang dari peserta BPJS. Sungguh tega betul membuat orang sengsara dengan ruwetnya pelayanan kesehatan yang ada sekarang,” cetusnya. Sebelumnya, Dirut BPJS Kesehatan Ali Gufron Mukti mengaku pihaknya kerap di salahkan saat ada layanan di faskes yang tidak baik.
Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti mengaku kerap disalahkan oleh masyarakat yang sedang berobat ke puskesmas. Dia mencontohkan persoalan obat yang sering kosong. “Sering di puskesmas apalagi rujukan kosong obatnya. BPJS enggak pernah urus obat. BPJS enggak pernah beli obat, nggak pernah urusan dengan obat sebetulnya,” tandasnya.
Namun, masyarakat tidak paham tentang itu. “Kalau ada masalah, itu BPJS,” katanya.
Tak hanya obat, Ghufron juga menyinggung soal ketersediaan dokter. Menurutnya, permasalahan tidak ada dokter di puskesmas maupun rumah sakit bukan tanggung jawab BPJS Kesehatan.
Dia berharap ada pihak berwenang meluruskan permasalahan ini agar orang tak ragu berobat menggunakan BPJS Kesehatan. BPJS Kesehatan menunjukkan komitmennya dalam menjamin keberlangsungan penyelenggaraan JKN. Dalam 11 tahun terakhir total beban pembiayaan penyakit yang ditanggung BPJS Kesehatan mencapai Rp1.087,4 triliun.
Terjadi peningkatan kasus signifikan dari 2014 dengn pembiayaan Rp 42,65 triliun, sedangkan 2024 sudah mencapai Rp 174,90 triliun. Rata-rata beban pembiayaan di 2024 totalnya Rp 700,42 juta per hari. Terbanyak masih digunakan untuk mengcover layanan terkait penyakit katastropik. “Kasus jantung terbesar, menempati posisi di atas, lebih dari 70 persen dari total utilisasi,” tutur Ghufron.
Pembiayaan terbesar kedua merupakan penyakit stroke dengan berkisar 15 persen dari total yang ditanggung BPJS Kesehatan. Diikuti kanker 7,91 persen dan gagal ginjal 1,30 persen.
“Dulu orang miskin dilarang sakit, sekarang banyak yang tertolong melalui penerima bantuan iuran,” ujarnya.
Sekitar 24-31 persen dari total biaya pelayanan kesehatan digunakan untuk pelayanan 8 diagnosis berbiaya katastropik. Total biaya pelayanan katastropik selama 2014-2024 mencapai Rp 235 triliun Penyakit lain yang ikut menjadi beban pembiayaan terbanyak adalah leukemia, thalasemia, hemophilia, hingga cirrhosis hepatitis.
“Kami ingin semua fasilitas kesehatan memiliki akses informasi yang terbuka. Transparansi ini penting, karena akan memperkuat rasa saling percaya dan menjamin kesinambungan pelayanan,” ujar Ghufron.
Sebagai bentuk tanggung jawab atas kesinambungan operasional rumah sakit mitra, BPJS Kesehatan juga menjalankan skema Uang Muka Pelayanan Kesehatan (UMP). Ketua Dewan Pengawas BPJS Kesehatan, Abdul Kadir menjelaskan dana ini diberikan kepada rumah sakit yang telah mengajukan klaim namun masih dalam proses verifikasi, sehingga pelayanan tetap dapat berjalan tanpa terhambat persoalan likuiditas.
“Sepanjang tahun 2024, BPJS Kesehatan telah menyalurkan UMP senilai Rp16,97 triliun, dengan rata-rata 419 rumah sakit per bulan menerima manfaat ini. Sebelumnya, pada tahun 2023 BPJS Kesehatan juga mengucurkan Rp11,39 triliun untuk pemberian UMP ke rumah sakit,” tandasnya.